Selasa, 05 April 2011

50 TAHUN SALAH PAHAM

Dikisahkan, disebuh gedung
pertemuan yang amat
megah, seorang pejabat senior
istana sedang
menyelenggarakan pesta ulang
tahun perkawinannya
yang ke-50. Peringatan kawin
emas itu ramai didatangi oleh
tamu-tamu penting seperti para
bangsawan, pejabat istana,
pedagang besar serta seniman-
seniman terpandang dari
seluruh pelosok negeri. Bahkan
kerabat serta kolega dari
kerajaan-kerajaan tetangga juga
hadir. Pesta ulang tahun
perkawinan pun berlangsung
dengan megah dan sangat
meriah.
Setelah berbagai macam hiburan
ditampilkan, sampailah pada
puncak acara, yaitu jamuan
makan malam yang sangat
mewah.
Sebelum menikmati jamuan
tersebut, seluruh hadirin
mengikuti
prosesi penyerahan hidangan
istimewa dari sang pejabat
istana
kepada istri tercinta. Hidangan itu
tak lain adalah sepotong ikan
emas yang diletakkan di sebuah
piring besar yang mahal. Ikan
emas itu dimasak langsung oleh
koki kerajaan yang sangat
terkenal.
“ Hadirin sekalian, ikan emas ini
bukanlah ikan yang mahal.
Tetapi, inilah ikan kegemaran
kami berdua, sejak kami
menikah
dan masih belum punya apa-
apa, sampai kemudian di usia
perkawinan kami yang ke-50
serta dengan segala keberhasilan
ini. Ikan emas ini tetap menjadi
simbol kedekatan, kemesraan,
kehangatan, dan cinta kasih kami
yang abadi, ” kata sang pejabat
senior dalam pidato singkatnya.
Lalu, tibalah detik-detik yang
istimewa yang mana seluruh
hadirin tampak khidmat
menyimak prosesi tersebut.
Pejabat
senior istana mengambil piring,
lalu memotong bagian kepala
dan ekor ikan emas. Dengan
senyum mesra dan penuh
kelembutan, ia berikan piring
berisikan potongan kepala dan
ekor ikan emas tadi kepada
isterinya. Ketika tangan sang
isteri
menerima piring itu, serentak
hadirin bertepuk tangan dengan
meriah sekali. Untuk beberapa
saat, mereka tampak ikut
terbawa oleh suasana romantis,
penuh kebahagiaan, dan
mengharukan tersebut.
Namun suasana tiba-tiba jadi
hening dan senyap. Samar-
samar
terdengar isak tangis si isteri
pejabat senior. Sesaat kemudian,
isak tangis itu meledak dan
memecah kesunyian gedung
pesta.
Para tamu yang ikut tertawa
bahagia mendadak jadi diam
menunggu apa gerangan yang
bakal terjadi. Sang pejabat
tampak kikuk dan kebingungan.
Lalu ia mendekati isterinya dan
bertanya “Mengapa engkau
menangis, isteriku?”
Setelah tangisan reda, sang isteri
menjelaskan “Suamiku…sudah
50 tahun usia pernikahan kita.
Selama itu. aku telah dengan
melayani dalam duka dan suka
tanpa pernah mengeluh. Demi
kasihku kepadamu, aku telah rela
selalu makan kepala dan ekor
ikan emas selama 50 tahun ini.
Tapi sungguh tak kusangka, di
hari
istimewa ini engkau masih saja
memberiku bagian yang sama.
Ketahuilah suamiku, itulah
bagian yang paling tidak aku
sukai. ”
tutur sang isteri.
Pejabat senior terdiam dan
terpana sesaat. Lalu dengan
mata
berkaca-kaca pula, ia berkata
kepada isterinya, ” Isteriku yang
tercinta…50 tahun yang lalu saat
aku masih miskin, kau bersedia
menjadi isteriku. Aku sungguh-
sungguh bahagia dan sangat
mencintaimu. Sejak itu aku
bersumpah pada diriku sendiri,
bahwa
seumur hidup aku akan bekerja
keras, membahagiakanmu,
membalas cinta kasih dan
pengorbananmu. ”
Sambil mengusap air matanya,
pejabat senior itu melanjutkan,
“ Demi Tuhan, setiap makan ikan
emas, bagian yang paling aku
sukai adalah kepala dan ekornya.
Tapi sejak kita menikah, aku rela
menyantap bagian tubuh ikan
emas itu. Semua kulakukan
demi
sumpahku untuk memberikan
yang paling berharga buatmu.”
Sang pejabat terdiam sejenak,
lalu ia melanjutkan lagi
“ Walaupun
telah hidup bersama selama 50
tahun dan selalu saling
mencintai,
ternyata kita tidak cukup saling
memahami. Maafkan saya,
hingga
detik ini belum tahu bagaimana
cara membuatmu bahagia. ”
Akhirnya, sang pejabat
memeluk isterinya dengan erat.
Tamutamu
terhormat pun tersentuh hatinya
melihat keharuan tadi dan
mereka kemudian bersulang
untuk menghormati kedua
pasangan tersebut.
……………………
Arti cerita diatas:
Bisa saja, sepasang suami - isteri
saling mencintai dan hidup
serumah selama bertahun-tahun
lamanya. Tetapi jika di
antaranya tidak ada saling
keterbukaan dalam komunikasi,
maka
kemesraan mereka
sesungguhnya rawan dengan
konflik.
Kebiasaan memendam masalah
itu cukup riskan karena seperti
menyimpan bom waktu dalam
keluarga. Kalau perbedaan tetap
disimpan sebagai ganjalan dihati,
tidak pernah dibiacarakan
secara tulus dan terbuka, dan
ketidakpuasan terus
bermunculan, maka konflik akan
semakin tak tertahankan dan
akhirnya bisa meledak. Jika
keadaan sudah seperti ini,
tentulah
luka yang ditimbulkan akan
semakin dalam dan terasa lebih
menyakitkan.
Kita haruslah selalu membangun
pola komunikasi yang terbuka
dengan dilandasi kasih,
kejujuran, kesetiaan,
kepercayaan,
pengertian dan kebiasaan
berpikir positif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar